Pernah
keliling dunia? Melihat situs-situs terkenal? Semuanya bisa dilakukan hanya
dengan duduk manis di kursi dan mulai menelanjangi kepenasaran nun jauh disana
dengan membuka lembar demi lembar kertas yang biasa kita sebut “buku”. Konon,
kegiatan wisata ekonomis ini akan mulai punah dimasa depan. Hal ini bukan
dikarenakan para pencari kesenangan dibalik tulisan mulai berkurang minatnya
untuk membaca, mengingat kayu sebagai bahan pokok untuk membuat kertas adalah
sumber daya alam yang terbatas. Memang, indonesia adalah alam yang subur dengan
kekayaan komponen tanahnya yang memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan pohon
dan memasok kayu-kayu bagi pabrik-pabrik yang memproduksi kertas. Tapi
kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Lapisan ozon yang mulai menipis
menjadikan pohon sangat rentan bila
terus ditebangi karena kebutuhan kita akan lingkungan yang selalu rindang agar
terjauh dari efek pemanasan global. Lantas, kedua pihak ini saling tarik ulur,
antara para pecinta buku yang sangat menyayangkan bila buku ditiadakan dalam
bentuk fisik dan para pecinta alam yang sangat berfikir keras agar alam lebih
diperhatikan demi kesejahteraan bersama.
Kejadian
tarik ulur ini tidak akan berangsur membaik tatkala keduanya hanya memikirkan
persepsi masing-masing tanpa memperkecil volume masalah yang sesungguhnya dan
mulai memikirkan solusi untuk kebaikan bersama. Kecintaan kita terhadap alam
hendaknya disejajarkan dengan kebutuhan kita akan wawasan yang luas. Kita bisa
saja menghentikan produksi buku secara fisik dan mulai memikirkan alternatif
lain tanpa melibatkan unsur alam yang semakin diporsir demi mempertahankan
keseimbangan biosfer kita ini.
Buku
berupa e-book memang sangat
mengerikan bagi beberapa pihak yang merasa kegiatan membaca e-book seperti memaksakan lensa mata
kita tertuju pada layar yang lama kelamaan bisa merusak kinerjanya dalam
melihat secara jelas. Namun manusia adalah mahluk bumi yang akan melangkah
dengan otaknya dari kemustahilan menuju kemungkinan yang pasti. Peningkatan
mutu gadget bukan hal mustahil. Hal
ini lambat laun akan dikaji oleh para ahli karena kebutuhan kita akan gadget mulai menuju titik klimaks.
Mungkin saat ini para ‘kutu buku’ bisa dicirikan dengan orang yang menenteng
buku kemana-mana termasuk kunjungan wajibnya ke toko buku dan perpustakaan. Dimasa depan, para pecinta baca akan tertumpu
pada gadget praktis yang bisa dibawa
kemana-mana tanpa memberati tas yang bertengger manis tanpa beban. Hal pertama
yang akan menjadi solusi adalah kualitas gadget
yang semakin baik dan membuat para ‘wisatawan ilmu’ layaknya sedang membaca
buku meskipun secara fisik jelas berbeda.
Sebuah
solusi pastinya selalu menuai kontadiksi dimana keadaan yang menyedihkan berada
pada pihak penulis produktif yang hasil karyanya membuahkan royalti rendah
karena tulisannya dengan mudah di copy
+paste. Solusi kedua yang menjadi lanjutan dari solusi diatas adalah
pembuatan software baru yang di
disain seperti perpustakaan di dalam gadget
yang hanya bisa diisi dengan koleksi buku bila buku tersebut didapatkan ditoko e-book yang legal. Seperti halnya buku
yang dapat dipinjamkan dan diberikan, software
ini bisa mentransfer buku melalui chips
kecil yang bisa memindahkan buku dari satu gadget
ke gadget lainnya. Tenang saja,
proses memindahkan atau memberikan ini bukan seperti sistem copy +paste, namun e-book yang sudah dimasukkan chips
dengan otomatis berpindah tanpa menyisakan master-nya.
Perubahan
alam bukanlah mimpi buruk yang bisa memusnahkan semangat manusia untuk tetap
mereguk manisnya kesejahteraan. Solusi ini hanya akan tetap menjadi dongeng
sebelum tidur bila kita tidak menjadikannya misi penting yang akan sangat
ditunggu oleh masyarakat dunia, karena peradaban manusia tidak akan terhenti
serempak hanya karena matahari yang memandangi bumi melalui ozon yang berlapis
tipis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar